HEADLINENEWSPEMERINTAHANPEMKAB SIDOARJOREGIONALSIDOARJO

Relawan Belajar Tangani Gigitan Ular dari Pakar Toksikologi Indonesia

×

Relawan Belajar Tangani Gigitan Ular dari Pakar Toksikologi Indonesia

Sebarkan artikel ini
Relawan Belajar Tangani Gigitan Ular dari Pakar Toksikologi Indonesia
Relawan Belajar Tangani Gigitan Ular dari Pakar Toksikologi Indonesia

News Satu, Sidoarjo, Senin 30 November 2020- Kasus gigitan ular, baik berbisa maupun tidak, kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, banyak korban yang berjatuhan, hingga akhirnya meninggal dunia.

Kondisi ini tak menyurutkan Dr. dr. Tri Maharani, Sp.EM untuk terus mensosialisasikan bahaya gigitan ular kepada masyarakat. Salah satunya melalui Arisan Ilmu Nol Rupiah pada Relawan yang diadakan Sekber Relawan Penanggulangan Bencana (SRPB) Jatim.

Dengan tema First Aid dan Penanganan Medis Gigitan Ular, wanita kelahiran Kediri, 31 Agustus 1971, ini memberikan materi kepada sekitar 100 relawan anggota organisasi mitra SRPB Jatim dengan mengikuti prokes covid 19 yang berlaku.

Acara yang berlangsung di Joglo Kadiren, Permata Juanda, Sidoarjo, cukup menyita perhatian peserta. Pasalnya, banyak peserta yang antusias mengajukan pertanyaan. Namun, dokter Maha, demikian ia kerap dipanggil, melayani dengan sabar pertanyaan para peserta satu persatu.

Menurut satu-satunya dokter spesialis toksikologi ular berbisa di Indonesia ini, di negara ini cukup banyak jenis ular. Bahkan, melebihi jenis ular di Thailand maupun Australia. Dalam catatannya, ada 377 ular jenis tak berbisa. Sedangkan 77 jenis lainnya adalah berbisa.

“Indonesia adalah negara yang kaya dengan ular. Namun sayangnya anti venom (anti racun) ular sedikit diproduksi,” ungkap pendiri organisasi Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) Indonesia pada 2015 serta Indonesia Toxinology Society (ITS) ini, Senin (30/11/2020).

Oleh karena itu, kasus gigitan ular ibarat gunung es. Bahkan, merupakan kasus yang diabaikan (neglected case). World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa kasus-kasus gigitan ular tergolong dalam neglected tropical disease atau penyakit tropis yang terabaikan.

“Sangat susah untuk membedakan ular yang berbisa dan tidak dari faktor morfologinya. Hal ini karena warna dan corak ular sangat beragam. Juga ada rumus-rumusnya,” imbuhnya.

Dokter ini menyinggung kehidupan ular yang soliter (sendirian). Begitu ia dilahirkan, ular tak akan mengenal ibu bapaknya. Lain halnya dengan hewan-hewan lain. Jadi diharapkan untuk jangan percaya jika ada yang membunuh ular, lalu ular-ular lainnya akan membalas dendam.

“Untuk ular berbisa, ada sisik loreal yang berada di antara sisik mata dan hidung. Hal ini tak ditemukan di ular tak berbisa. Selain itu, tusukan gigi ular berbisa bentuk lukanya kecil, meski hanya satu,” tambahnya.

Sedangkan, luka dari ular tak berbisa berbentuk robekan dan abrasi. Sementara, gigi ular berbisa umumnya seperti taring. Tri Maharani juga menjelaskan kaitan antara ular dengan kebencanaan. Di beberapa lokasi gunung yang akan meletus, memang ditemukan adanya kemunculan ular maupun hewan-hewan lainnya. Biasanya ditandai dengan turunnya ular pohon ke pemukiman. Sedangkan ular tanah baru muncul beberapa saat sebelum gunung meletus.

Sementara, pembicara lainnya, Ns.Mukhamad Fathoni,S.Kep.,MNS membawakan tema Asuhan Keperawatan dan Demo Penanganan First Aid Gigitan Ular.

“Untuk korban gigitan ular memang harus mendapatkan perlakuan khusus dalam berbagai vs penanganannya,” ungkap Fathoni.

Sedangkan Koordinator SRPB Jatim Dian Harmuningsih mengatakan bahwa ilmu yang ditularkan oleh Dokter Maha sangat bermanfaat. Terutama bagi para relawan yang kerap melakukan aktivitas outdoor.

“Saya minta agar ilmu Dokter Mahariani bisa diserap dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sangat beruntung para peserta bisa mendapatkan ilmu dari narasumber yang sangat berkompeten di bidangnya,” jelasnya. (Yud)

Comment