Sumenep, Selasa 7 Oktober 2025 | News Satu- Ketegangan antara masyarakat Sumenep dengan sektor industri migas kembali memanas. Badan Eksekutif Mahasiswa Sumenep (BEMSU) bersama sejumlah warga mengancam akan mengusir seluruh perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang beroperasi di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Ancaman keras itu muncul karena SKK Migas Jabanusa, sebagai lembaga pengawas kegiatan hulu migas, dianggap tidak memiliki itikad baik dan gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai persoalan migas yang tak kunjung selesai. Koordinator BEMSU, Salman Farid, menegaskan bahwa konflik uji seismik yang dilakukan PT Kangean Energy Indonesia (KEI) di Kepulauan Kangean hingga kini belum menemukan titik terang.
“Padahal ini tanggung jawab SKK Migas Jabanusa. Tapi di lapangan, mereka terkesan membiarkan. Ini jelas merugikan masyarakat Kepulauan Kangean,” tegas Salman, Selasa (7/10/2025).
Selain persoalan kompensasi untuk warga Kangean, Salman juga menyoroti mandeknya pembagian Participating Interest (PI) 10% yang menjadi hak Pemerintah Daerah Sumenep melalui BUMD Petrogas Jatim Sumekar (PJS).
“SKK Migas seolah menutup mata. Padahal lembaga ini punya kewenangan penuh untuk memastikan hak-hak masyarakat daerah penghasil migas dipenuhi,” ujarnya.
Menurut BEMSU, hingga kini BUMD PJS belum menerima sepenuhnya hak PI dari kontraktor migas, termasuk PT KEI. Kondisi ini menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola migas di daerah. Selain PT KEI, BEMSU juga menuding PT MGA Utama Energi melakukan pelanggaran serius karena diduga tidak memiliki oil boom, alat wajib untuk mencegah tumpahan minyak di laut.
“Kalau benar tidak ada oil boom, itu pelanggaran berat. Ini bukan sekadar teknis, tapi menyangkut keselamatan ekosistem laut dan nelayan,” tegas Salman.
Salman menegaskan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi penting, seperti, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut, dan Permen ESDM No. 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memiliki Oil Spill Contingency Plan (OSCP).
“SKK Migas jangan cuma jadi regulator di atas kertas. Kalau terbukti melanggar, operasi perusahaan harus dihentikan sementara sampai memenuhi standar lingkungan,” tegasnya lagi.
Menurut Salman, absennya oil boom dalam kegiatan migas berisiko besar merusak ekosistem laut, membunuh biota, dan menghancurkan sumber penghasilan nelayan pesisir.
“Sekecil apapun tumpahan minyak bisa mematikan biota laut dan menghancurkan ekonomi masyarakat pesisir Sumenep,” tukasnya.
BEMSU mendesak SKK Migas untuk segera turun langsung ke lapangan, melakukan verifikasi dan penindakan tegas terhadap perusahaan migas yang tidak mematuhi aturan lingkungan. Bahkan, SKK Migas Jabanusa memperburuk kepercayaan publik terhadap sektor migas. Mereka menegaskan bahwa masyarakat sudah kehilangan kesabaran.
“Jika sikap SKK Migas Jabanusa terus seperti ini, sebaiknya kita usir saja perusahaan migas yang beroperasi di Sumenep. Karena tidak ada manfaatnya bagi masyarakat dan banyak pelanggaran,” pungkas Salman.
Masyarakat kini menuntut transparansi, tanggung jawab lingkungan, dan keadilan bagi daerah penghasil migas, serta menginginkan agar pemerintah pusat meninjau ulang pola pengawasan SKK Migas di wilayah Madura. Sementara, hingga berita ini ditulis, SKK Migas Jabanusa belum memberikan respons. Sementara Pemkab Sumenep, melalui Kabag Perekonomian Dadang Dedy Iskandar, hanya menyampaikan jawaban normative dengan dalih tidak ingin memberikan kesan buruk pada investasi. (Roni)
Comment