Surabaya, Kamis 13 November 2025 | News Satu- Ketidakhadiran Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam acara Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau dan Arah Baru Pertumbuhan Ekonomi Madura” memantik sorotan publik.
Forum strategis yang digelar di Gedung Sport Center Ahmad Yani, UIN Sunan Ampel Surabaya, itu seharusnya menjadi ajang penting membahas masa depan industri tembakau Madura, sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi Jawa Timur.
Acara yang dihadiri para ulama, akademisi, dan tokoh muda Madura tersebut hanya dibuka oleh Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Rudi Saladin, M.A.. Dua sosok penting yang dinantikan kehadirannya Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Kapolda Jawa Timur sama sekali tak tampak di lokasi.
Absennya dua pejabat tersebut dinilai ironis. Sebab, KEK Tembakau bukan proyek politik, melainkan gagasan ekonomi berbasis pesantren. Inisiatif ini berawal dari Pondok Pesantren Al-Hamidy Banyuanyar Pamekasan, kemudian diperkuat di Ponpes Nurul Amanah Bangkalan di bawah bimbingan KH. Syafik dan para kiai Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (BASRA).
“KEK Tembakau bukan proyek politik, tapi hasil ijtihad ekonomi para kiai. Ini tentang martabat Madura,” ujar Fauzi AS, pengamat kebijakan publik, Kamis (13/11/2025).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Disperindag Jatim, sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) menyumbang 22,43% terhadap total PDRB industri pengolahan Jawa Timur, menempati posisi kedua setelah industri makanan dan minuman.
Secara keseluruhan, industri pengolahan berkontribusi Rp 2.536 triliun terhadap PDRB Jawa Timur, tumbuh 5,9% pada Triwulan III 2025. IHT juga mencatatkan penerimaan Rp 230 triliun dari cukai nasional (2024) serta DBHCHT Rp 3,57 triliun bagi daerah.
Namun di balik angka besar itu, 322 ribu petani tembakau dan cengkeh serta ratusan ribu buruh pabrik bergantung hidup pada sektor ini. Sayangnya, pengamat menilai pemerintah provinsi masih abai terhadap nasib mereka.
Ketidakhadiran Kapolda Jawa Timur juga menuai sorotan. Padahal isu tembakau erat kaitannya dengan penegakan hukum terhadap rokok ilegal dan perlindungan petani kecil.
“Bagaimana mau menata industri kalau aparat penegak hukum tidak hadir berdiskusi? Padahal mereka yang paling sering razia rokok tanpa cukai,” tegas Fauzi AS.
Sementara itu, perwakilan Disperindag Jatim yang hadir menuai kritik karena menggunakan data lama tahun 2023 dalam presentasinya.
“Bagaimana bisa membicarakan masa depan kalau datanya saja tidak diperbarui?” sindir Fauzi.
Para ulama BASRA menegaskan, KEK Tembakau adalah perjuangan ekonomi rakyat Madura agar tak selamanya menjadi penonton kebijakan pusat dan provinsi.
“Ini bukan proyek, tapi perjuangan martabat dan keadilan,” pungkasnya.
Ketidakhadiran dua pejabat kunci tersebut akhirnya memunculkan sindiran tajam di masyarakat. Kini publik di Madura menyebut KEK bukan lagi ‘Kawasan Ekonomi Khusus’, melainkan “Khofifah Entah Kemana.” (Kiki)








Komentar