Surabaya, Senin 29 2025 | News Satu- Kasus pengusiran paksa yang menimpa Nenek Elina Widjajanti (80) kembali membuka tabir praktik mafia tanah yang masih marak terjadi di Indonesia. Peristiwa yang viral di media sosial itu dinilai bukan sekadar sengketa kepemilikan, melainkan kejahatan terstruktur yang menyasar warga rentan, khususnya lansia.
Menanggapi kasus tersebut, Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, menegaskan pentingnya publik untuk tidak terjebak konflik horizontal dan lebih fokus mengawal aktor utama di balik praktik mafia tanah.
“Yang harus dicari adalah dalangnya. Ada pengusiran, lalu muncul pihak yang mengaku membeli rumah. Pertanyaannya, mengapa pemilik sah tidak merasa menjual, tetapi ada yang merasa membeli? Inilah pola klasik mafia tanah,” kata Lia Istifhama, yang akrab disapa Ning Lia, Senin(29/12/2025).
Senator DPD RI asal Jawa Timur yang dinobatkan sebagai Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai versi ARCI itu menilai kasus Nenek Elina bukanlah kejadian tunggal. Menurutnya, praktik serupa banyak terjadi di berbagai daerah dengan pola yang hampir sama.
“Di luar sana ada banyak ‘Nenek Elina’ lainnya. Ini persoalan sistemik yang harus ditangani serius oleh negara,” tandasnya.
Ning Lia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terpancing emosi dan terlibat konflik antarwarga. Ia menilai, mafia tanah kerap memainkan skenario dengan memperhadapkan korban dan pihak tertentu, sementara aktor intelektual justru bersembunyi di balik dokumen dan proses hukum.
“Jangan sampai masyarakat diadu domba. Fokuskan perhatian pada siapa yang memerintahkan pengusiran, siapa yang mengaku membeli, dan apakah transaksi itu sah secara hukum,” tegas alumnus doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.
Pernyataan itu juga didasarkan pada pengalaman pribadi Ning Lia. Keluarga besarnya pernah terjerat perkara serupa, di mana transaksi yang diklaim sebagai jual beli ternyata hanyalah utang-piutang dengan jaminan sertifikat.
Fakta tersebut telah ditegaskan melalui putusan Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya, hingga Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 3943 K/Pdt/2023. Mahkamah Agung menyatakan bahwa Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) dan Kuasa Menjual bukan bukti jual beli, melainkan bagian dari konstruksi hutang-piutang.
Dalam perkara tersebut, tidak ada serah terima uang, tidak ada penguasaan fisik objek, serta rumah tetap ditempati pemilik sah sebagai satu-satunya tempat tinggal. Pola ini dinilai memiliki kemiripan dengan kasus yang menimpa Nenek Elina.
“Kalau benar jual beli, mengapa rumah tidak ditempati pembeli? Mengapa pemilik sah justru diusir?” tukasnya.
Atas dasar itu, Ning Lia mendorong aparat penegak hukum untuk menindak mafia tanah dari hulunya, termasuk oknum perantara, penyalahgunaan akta, hingga rekayasa transaksi. Ia menegaskan pentingnya kehadiran negara untuk melindungi masyarakat kecil dan lansia.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah, tetapi persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan. Jangan biarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, rumah Nenek Elina di Dukuh Kuwukan, Kelurahan Lontar, Surabaya, diratakan menggunakan alat berat setelah pengusiran paksa. Seorang pria bernama Samuel mengklaim telah membeli tanah dan bangunan tersebut dari pihak lain bernama Elisa.
Aksi pengusiran dilakukan puluhan orang dan disertai kekerasan fisik. Nenek Elina dilaporkan mengalami luka pada wajah, bibir, dan lengan, sementara harta benda serta dokumen penting dilaporkan hilang atau hancur.
Kasus ini menuai kecaman luas. Wakil Wali Kota Surabaya Armuji dan Wali Kota Eri Cahyadi mendesak pengusutan tuntas. Saat ini, Polda Jawa Timur masih mendalami perkara tersebut, sementara Nenek Elina tinggal sementara di rumah kos di kawasan Balongsari. (Kiki)
