Jakarta, Rabu 27 Agustus 2025 | News Satu- Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama menyoroti sistem Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada siswa penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus (ABK).
Menurut Ning Lia sapaan akrab dari Lia Istifhama, kebijakan penentuan kuota jalur domisili SMA sebesar 35 persen berpotensi memangkas porsi jalur afirmasi. Padahal, jalur afirmasi inilah yang menjadi tumpuan utama bagi siswa difabel untuk masuk sekolah menengah.
“Ketika kuota domisili diperbesar, tentu berpengaruh terhadap jalur lain, salah satunya afirmasi. Padahal, jalur afirmasi inilah yang menjadi harapan siswa penyandang disabilitas,” tegas Lia dalam rapat Komite III DPD RI bertema Optimalisasi Sistem Zonasi PPDB Guna Pemerataan Pendidikan yang Berkualitas dalam Rangka Ketahanan Nasional di Senayan, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Dalam Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, kuota jalur domisili SMA ditetapkan minimal 30 persen. Namun di beberapa daerah, praktiknya naik hingga 35 persen. Akibatnya, kuota afirmasi yang mencakup siswa miskin, yatim, dan difabel menjadi semakin sempit.
Di sejumlah provinsi, jalur afirmasi khusus penyandang disabilitas hanya 3 persen dari pagu sekolah. Tidak ada jalur khusus domisili untuk difabel. Artinya, ABK hanya bisa mengandalkan jalur afirmasi, yang peluangnya sangat kecil.
“Pendidikan inklusif harus benar-benar dijamin. Jangan sampai hanya formalitas dalam aturan, tapi realisasinya malah menyempitkan ruang ABK. Negara wajib hadir memberikan perlindungan penuh,” ujar Ning Lia.
Ning Lia mendorong agar kuota afirmasi difabel ditingkatkan minimal di atas 3 persen, mengingat kebutuhan pendidikan inklusif semakin tinggi. Masalah lain adalah minimnya SMA/SMK inklusi di berbagai daerah. Beberapa wali murid mengaku kesulitan mencarikan sekolah untuk anaknya yang difabel.
“Bayangkan satu sekolah hanya menerima 2 siswa inklusi. Kadang di satu wilayah tidak ada SMA/SMK inklusi sama sekali. Saya sendiri mengalami kesulitan saat mencari sekolah untuk keponakan saya,” tandasnya.
Lia menegaskan, kebijakan pendidikan tidak boleh menempatkan siswa difabel sebagai kelompok marginal. Revisi distribusi kuota SPMB perlu dilakukan agar prinsip keadilan dalam pendidikan benar-benar terwujud.
“Negara harus memastikan setiap anak, termasuk penyandang disabilitas, memperoleh hak pendidikan yang setara. Jangan sampai mereka dikorbankan demi kuota zonasi domisili,” pungkasnya. (Kiki)
Comment