Pamekasan, News Satu, Kamis 12 Juni 2025- Aksi penghinaan terhadap Bupati Pamekasan, Madura, Jawa Timur, KH. Kholilurrahman di media sosial berakhir dengan permintaan maaf terbuka. Kurdi, pemilik akun Facebook Kurzawa, harus menelan malu setelah postingannya yang dianggap menghina orang nomor satu di Pamekasan viral dan memicu kecaman publik.
Warga Dusun Trebung, Desa Tobalang, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang ini akhirnya turun langsung ke Pendopo Mandhapa Agung Ronggosukowati untuk meminta maaf secara pribadi kepada Bupati KH. Kholilurrahman. Ia juga membuat surat pernyataan permohonan maaf dan menghapus unggahan kontroversialnya.
Sebelumnya, Kurdi menyebar video Bupati saat meninjau perbaikan jalan swadaya warga Desa Palengaan Daya, disertai dengan caption bernada kasar dan melecehkan dalam bahasa Madura, yang secara implisit merendahkan martabat sang bupati.
“Tingla nyaman embungah deteng bupati patek reh tibeh sappen dek emmah kkeh bupati mk deteng tingla embung nyaman pola ekaloppaeh cek andik rakyat yeh spatek jreh,” tulis Kurdi di unggahan Facebook-nya.
Dalam suasana yang penuh keharuan dan tekanan sosial, Kurdi menyampaikan permintaan maafnya dengan didampingi tokoh Palengaan Laok, Moh. Said, yang juga anggota DPRD Pamekasan. Ia mengakui perbuatannya sebagai bentuk kekhilafan dan menyebut postingannya telah menyakiti perasaan masyarakat.
“Saya menyesal dan menyadari kesalahan saya. Saya mohon maaf kepada Bupati Pamekasan dan seluruh masyarakat atas pernyataan saya yang kasar,” ucap Kurdi dengan suara tertunduk, Kamis (12/6/2025).
Menanggapi hal itu, Bupati Pamekasan, KH. Kholilurrahman memberikan respon bijak namun tegas. Ia mengingatkan seluruh masyarakat bahwa media sosial bukan tempat bebas mencaci maki, apalagi terhadap pemimpin yang tengah menjalankan tugas.
“Saya memaafkan dengan tulus. Tapi mari jadikan ini pelajaran penting. Ruang digital bukan tempat untuk mencaci maki. Jaga adab dan etika. Media sosial mencerminkan siapa kita sebenarnya,” tegas bupati dengan nada penuh wibawa.
Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi siapa pun yang menggunakan media sosial tanpa tanggung jawab. Kritik boleh, namun bukan dengan hinaan atau fitnah. Etika publik harus dijaga, apalagi terhadap sosok pemimpin dan ulama seperti KH Kholilurrahman, yang juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Miftahul Huda Panempan.
Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas menghina. Ruang digital bukan hutan liar tanpa hukum. Sudah saatnya masyarakat belajar membedakan antara kritik dan penghinaan. Jangan tunggu giliran datang ke pendopo hanya untuk menebus arogansi jari di layar ponsel. (Yudi)
Comment