Sumenep, Sabtu 9 Agustus 2025 | News Satu- Lebih dari tiga dekade sejak suara gemuruh bor minyak dan gas pertama kali terdengar di Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, janji kemakmuran dari kekayaan alam itu belum juga dirasakan warga. Ironisnya, masyarakat di sejumlah desa kepulauan justru hidup dalam krisis air bersih yang tak kunjung berakhir.
Sejak akhir 1993, ladang migas yang kini dikelola PT Kangean Energy Indonesia (KEI) Ltd telah menghasilkan miliaran rupiah bagi negara dan korporasi. Namun, bagi warga di Pulau Saseel, Pulau Sitabok, Pulau Salarangan, hingga Pulau Sadulang Kecil, air layak minum tetap menjadi barang mewah.
“Air sumur di sini payau, asin, dan tidak bisa langsung diminum. Untuk minum, kami harus beli dari pulau lain,” kata Hasan, warga Desa Sapeken, Sabtu (9/8/2025).
Warga terpaksa menyeberang laut dengan perahu nelayan demi mendapatkan air bersih. Harga satu jerigen 20 liter mencapai Rp 3.000 hingga Rp 4.000, belum termasuk ongkos transportasi. Saat musim hujan, mereka menampung air hujan untuk mandi dan mencuci, namun untuk kebutuhan konsumsi tetap mengandalkan pembelian.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan
Krisis ini memaksa masyarakat mengorbankan sebagian besar pendapatan untuk kebutuhan dasar. Sebagian besar warga adalah nelayan dengan penghasilan tidak menentu. Anak-anak rentan terserang diare, penyakit kulit, dan masalah kesehatan lain akibat penggunaan air payau.
“Kalau kami terus beli air, sampai kapan pun kami tidak akan sejahtera,” tegas Hasan.
Tudingan BEMSU: Eksploitasi Migas Rusak Lingkungan
Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Sumenep (BEMSU), Salman Farid, mendesak pemerintah pusat dan DPR RI menghentikan sementara seluruh aktivitas penambangan migas di Pulau Pagerungan.
“Pulau Pagerungan telah menjadi zona kritis ekologis. Ekosistem laut rusak, abrasi terjadi di banyak titik, dan warga mengalami krisis air bersih,” tandasnya.
Menurut BEMSU, kajian Kementerian PPN/Bappenas bahkan telah menetapkan Pagerungan sebagai kawasan dengan tingkat kerusakan lingkungan tinggi. Namun, mereka menilai KEI tidak transparan membuka data kerusakan dan hanya berlindung di balik sertifikat Proper Hijau serta izin KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut).
“KKPRL itu hanya legalitas administratif, bukan jaminan perlindungan lingkungan. Prosesnya pun rawan rekayasa politis,” tukasnya.
BEMSU juga menilai program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) KEI tidak menyentuh akar persoalan. Warga hanya mendapat listrik 10 jam per hari secara bergilir, sementara nelayan kesulitan mendapatkan ikan karena kerusakan ekosistem pesisir.
“Ini bukan pembangunan, ini penjarahan ruang hidup nelayan tradisional,” pungkasnya. (Roni)
Comment