“Saya anak tunggal, semenjak Mts sampai S2 saya memang merantau terus dan tidak berkumpul dengan keluarga, saya sangat ingat dulu ketika waktu malam-malam saya diantarkan orang tua ke Terminal untuk berangkat kuliah ke Malang. Makanya yang paling berpengaruh untuk kesuksesan kita adalah restu kedua orang tua, jadi yang paling penting itu,” terangnya.
Kendati demikian, kata pemuda berkarir ini, ada yang paling mengesankan selama menjadi mahasiswa perantau di kota dingin tersebut, dimana rasa rindu yang menumpuk kepada ke dua orang tuanya, kemudian rasa lapar, ia harus tahan sendiri. Sempat dulu, dia harus berjalan Kiluan meter untuk menjual Hp nya, hanya demi sesuap nasi.
Mengikat ia malu untuk bilang ke keluarga di rumah karena sudah tidak punya uang, akhirnya dia memutuskan berjalan kaki untuk menawarkan ke setiap toko – toko yang ia temui, namun mirisnya, Hp yang dia tawarkan itu tidak laku-laku. Kemudian Karena saking jauhnya ia berjalan hingga sampai seharian, sementara isi dalam perutnya belum tersentuh apapun, dengan rasa putus asa, ia pun menghubungi Seniornya hanya untuk makan.
“Mungkin kalau dijual hp “not nenot” itu lakunya sekitar Rp 2 ratusan, tapi ketika saya tawarkan di setiap toko – toko, Hp itu tidak laku. Makanya ini sebagai motivasi diri, bahwa Mahasiswa itu harus merasakan yang namanya rasa lapar dan lelah. Jadi, Semakin keras kita diterpa angin dan badai, maka disitulah pondasi kita untuk menuju puncak kesuksesan diuji,” cerita Naghfir disela – sela seruputan kopi hitamnya. (Hanif)
Comment