Sumenep, Rabu 6 Agustus 2025 | News Satu- Sejak bor pertama ditancapkan tahun 1993 di Pulau Pagerungan Besar, Sapeken, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, kekayaan migas Blok Pagerungan telah mengalir ke pusat. Namun, alih-alih menikmati hasilnya, masyarakat sekitar justru berada dalam pusaran kemiskinan dan degradasi lingkungan.
Kini, gelombang penolakan terhadap survei seismik yang dilakukan PT Kangean Energy Indonesia (KEI) menjadi titik balik perlawanan masyarakat yang selama ini dibungkam oleh janji-janji pembangunan.
Perlawanan Rakyat yang Terorganisir
Warga Kangean, didukung oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Sumenep (BEMSU), secara terbuka menolak eksplorasi seismik terbaru oleh KEI. Penolakan ini bukan isapan jempol. Mereka mengklaim bahwa selama puluhan tahun KEI mengeksploitasi migas, kehidupan mereka justru makin terpuruk.
“Kami krisis air, ekosistem laut rusak, dan tidak pernah tahu ke mana larinya dana CSR maupun DBH Migas,” ungkap Salman Farid, Koordinator BEMSU, Rabu (6/8/2025).
Krisis Lingkungan dan Budaya
Kajian dari Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa Pulau Pagerungan telah mengalami kerusakan ekologis tinggi. Abrasi, kerusakan terumbu karang, serta punahnya beberapa spesies ikan adalah realita pahit yang ditanggung warga. Mereka yang menggantungkan hidup pada laut kini kehilangan masa depan.
“Laut kami bukan sekadar ekonomi, tapi identitas budaya kami,” tukasnya.
PI dan DBH Migas: Janji Palsu Pusat ke Daerah?
BEMSU membeberkan bahwa KEI telah mengabaikan kewajiban Participating Interest (PI) sebesar 10% sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2001 dan Permen ESDM No. 37 Tahun 2016. PI yang seharusnya diberikan kepada BUMD lokal, PT Petrogas Jatim Sumekar (PJS), justru belum ditunaikan.
“Ini bentuk pembangkangan terhadap regulasi. Jika PI dilaksanakan dan DBH dikelola transparan, kemiskinan bisa ditekan,” tambah Salman.
Wakil Rakyat Berdiri Sendiri
Wakil Ketua DPRD Sumenep, M. Syukri, menjadi satu-satunya pejabat yang vokal. Ia menuding SKK Migas dan Pemkab Sumenep abai, bahkan terkesan tunduk pada perusahaan migas.
“Kalau pemerintah diam, itu sama saja membiarkan rakyat dilindas investor. Ini pelanggaran hak asasi,” tegas Syukri.
Momentum Evaluasi Kebijakan Energi Nasional
Kasus Kangean mencerminkan satu pola berulang: eksploitasi tanpa distribusi keadilan. Dalam banyak kasus, konflik migas di daerah bermula dari minimnya partisipasi warga, absennya transparansi, dan tumpulnya pengawasan daerah terhadap aktivitas korporasi besar.
“PI bukan sekadar dokumen. Itu hak ekonomi daerah. Jangan main-main,” tegas Syukri.
Tanggapan Pemerintah Tak Menjawab Substansi
Ketika dimintai konfirmasi, SKK Migas bungkam. Sementara Pemkab Sumenep, melalui Kabag Perekonomian, Dadang Dedy Iskandar, memilih menjawab normatif:
“Kami tidak ingin memberi kesan buruk terhadap investasi,” pungkasnya.
Jawaban ini dianggap sebagai bentuk pembiaran struktural terhadap penderitaan rakyat Kangean. (Roni)
Comment