Surabaya, Jumat 5 September 2025 | News Satu- Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah menjadi momen refleksi kebangsaan bagi Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, yang menilai kelahiran Rasulullah bukan hanya perayaan spiritual, tetapi juga sumber inspirasi moral untuk membangun bangsa.
“Ketika Nabi menghadapi penindasan Quraisy, beliau tidak pernah mengedepankan kekerasan sebagai jalan utama. Bahkan perang yang beliau jalani adalah reaksi defensif, dan tawanan perang pun diperlakukan dengan penuh perikemanusiaan. Inilah teladan besar: kebenaran harus diperjuangkan dengan akhlak, bukan kebrutalan,” ujar Ning Lia, Jumat (5/9/2025).
Ning Lia menegaskan, spirit Nabi diwarisi oleh para pendiri bangsa. KH. Hasyim Asy’ari, Bung Karno, hingga Jenderal Sudirman menempatkan nilai moral dan spiritual sebagai energi perjuangan.
“Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 bukan hanya mengangkat senjata, tapi mengangkat martabat bangsa. Itu sejalan dengan misi Rasulullah: membebaskan manusia dari penindasan tanpa kehilangan martabat,” jelasnya.
Menurutnya, proklamasi 17 Agustus 1945 juga lahir dari musyawarah dan gotong royong, bukan kekerasan membabi buta.
“Piagam Jakarta dan Pancasila adalah jejak peradaban Nabi dalam konteks kebangsaan kita,” tambahnya.
Refleksi itu, lanjut Ning Lia, semakin relevan ketika bangsa menghadapi tragedi kerusuhan yang membakar Gedung Negara Grahadi Surabaya.
“Ini bukan sekadar kehilangan bangunan, tapi kehilangan memori kolektif bangsa. Sama halnya ketika Quraisy berusaha merusak Ka’bah: mereka merusak simbol persatuan umat,” tegasnya.
Yang lebih disesalkan adalah keterlibatan anak-anak dalam aksi destruktif.
“Nabi bersabda al-syabāb ‘imād al-ummah (pemuda adalah tiang umat). Kalau tiangnya dirusak sejak dini, bagaimana bangunan bangsa ini bisa kokoh?” ujarnya.
Ning Lia menekankan pendidikan humanis sebagai kunci penyelamatan generasi. Guru, katanya, harus diberdayakan, bukan dibebani administrasi berlebihan.
“Kalau kita ingin anak-anak kebal dari provokasi, biarkan guru fokus membentuk karakter murid. Nabi juga mendidik sahabat dengan kasih sayang dan keteladanan, bukan sekadar menyampaikan wahyu,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan dampak pendidikan daring saat pandemi yang membuat anak-anak rentan terhadap disinformasi dan ujaran kebencian.
“Maka Maulid Nabi ini harus jadi momentum memperkuat pendidikan akal, hati, dan moral sekaligus,” tambahnya.
Di akhir refleksinya, Ning Lia menegaskan bahwa Maulid Nabi adalah panggilan untuk membangun masa depan bangsa dengan senjata utama: ilmu, akhlak, dan kasih sayang.
“Jika Nabi mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik hanya dalam 23 tahun, maka bangsa Indonesia pun bisa keluar dari krisis moral. Asalkan kita kembali menempatkan akhlak sebagai fondasi,” pungkasnya. (Kiki)
Comment