Menurut doktor lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya (Uinsa) tersebut bahwa fungsi guru sebagai pendidik lebih dari sekadar pengajar.
“Jika kita mencari frasa pendidikan dalam Alquran, kata yang paling mendekati dengan makna pendidikan adalah kata rabb yang terdapat pada surah Al-Fatihah ayat kedua. Menurut para ahli Tafsir, kata rabb adalah turunan dari kata tarbiyah yang berarti pendidikan. Meski dalam hal ini banyak ulama bertentangan mengenai makna rabb dalam arti pendidikan sebagai transfer of knowledge atau pendidikan sebagai pengasuhan fisik,” jelasnya.
Ning Lia juga mengutip pendapat Imam Al-Maraghi, kata rabb bermakna pemelihara dan pendidik yang membimbing orang yang dididiknya dan memikirkan keadaan perkembangannya. Menurut kandungan ayat tersebut, pendidikan adalah proses pemeliharaan seseorang kepada orang lain atau kepada sesuatu selain dirinya, sebagaimana seseorang memelihara sebuah pohon di halaman rumahnya, orang itu harus memperhatikan berapa kali sehari pohon itu harus disiram, diberi pupuk dan diperhatikan pertumbuhannya.
“Secara filosofis, konsep rabb mengharuskan seorang guru agar menjalankan fungsinya sebagai pemelihara, perawat atau pembimbing. Hal itu memungkinkan terjadinya interaksi yang lembut, interaksi yang dilandasi kepedulian untuk berkembang. Sehingga dalam konsep ini, guru didorong oleh emosinya untuk membuat siswa memiliki perkembangan kepribadian, bukan atas dorongan kewajiban profesi semata. Maka, pembiaran terhadap siswa yang melenceng dari nilai dan norma sosial, baik disengaja atau tidak disengaja adalah sesuatu yang keliru,” papar Ning Lia.
Konsep tarbiyah tidak hanya mengedepankan transfer of knowledge dan transfer of value, akan tetapi konsep ini juga meliputi transfer of soul. Hal tersebut setidaknya berimplikasi kepada perbaikan diri seseorang yang berasal dari dalam.
Dalam konsep ini, seorang guru tidak hanya dituntut menjalankan fungsinya untuk mengajarkan ilmu (knowledge), lebih dari itu ada tuntutan bagi dirinya untuk memperbaiki diri dalam rangka menyucikan jiwa. Misalnya, ketika seorang guru hendak mengajarkan kepada siswa bahwa berbohong bukanlah perilaku yang baik, maka pengajaran itu harus terlebih dulu dimulai dari inti jiwa orang yang mengajarinya. Pengajaran itu harus berangkat dari kesucian hatinya, dan tidak didasari atas kebaikan untuk muridnya semata.
“Meski suatu hari, mungkin fungsi guru sebagai pendidik dapat tergantikan oleh AI, yang dapat juga menginformasikan mana hal baik dan mana hal buruk, akan tetapi tanpa keterlibatan jiwa, pendidikan itu seperti berada di ruang hampa. Jiwa seseorang amat mudah terpelanting, karenanya kekuatan untuk mempertahankan nilai itu ada pada jiwa yang diberikan oleh guru,” tutur anggota Komite III DPD RI ini.
Pendidikan yang disertai jiwa akan menghadirkan prinsip kolaboratif, menumbuhkan sikap empati dan saling menghargai. Hal ini berguna bagi keberlanjutan ekosistem alam di Indonesia, yang terancam rusak oleh manusia itu sendiri dengan daya dukung sains dan teknologi yang tak mengenal nilai.
“Hadirnya jiwa dalam pendidikan diharapkan juga membentuk karakter kepribadian yang bijaksana,” pungkasnya. (Kiki/*)
Comment