“Coba pikirkan masyarakat kita yang mayoritas petani, jika penambangan ini tetap berlangsung, ya masyarakat yang akan jadi korban,” tukasnya.
Tidak hanya itu saja, Pemerintah harus memikirkan dampak lingkungan dari penambangan fosfat ini, sebab, bekas pertambangan fosfat hanya akan jadi wilayah hantu yang tidak akan bisa ditolong lagi.
“Ya bekas penambangan fosfat itu, pasti jadi wilayah hantu,” tandasnya.
Berdasarkan kajiannya, dimanapun pertambangan yang muncul pasti kerusakan lingkungan. Ini terjadi hampir diseluruh wilayah yang ditambang, contoh sederhananya Kalimantan dan Sulawesi saat ini.
“Secara ilmiah bekas lahan pertambangan itu disebut area Ghost Town, kota hantu atau daerah mati. Awalnya akan jadi pusat perekonomian tapi ketika sumber dayanya habis maka itu akan hilang. Yang tersisa hanya bangunan-bangunan tua dan lubang-lubang bekas pertambangan. Itu sangat mengerikan karena itu tidak bisa dialihfungsikan lagi,” ucapnya.
Aktivis yang juga aktif di Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) itu menjelaskan, jika kekayaan fosfat di Sumenep ditambang tidak dampak positifnya bagi masyarakat. Melainkan hanya menguntungkan pengusaha kapital dan korporasi saja.
“Untuk itu, bagi masyarakat lokal tidak ada sisi positifnya sama sekali dari penambangan fosfat, yang ada hanya sisi negatif kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Di Sumenep sendiri sebenarnya ada 22 titik kandungan fosfat, namun dalam zonasi pesisir ada tujuh wilayah. Meski banyak potensi fosfat ia meminta agar tidak dieksplorasi demi kesejahteraan jangka panjang masyarakat Sumenep.
“Jika pemerintah tetap memaksa memberikan izin pertambangan fosfat di wilayah Sumenep, saya sebagai aktivis tentu akan menulis dan mengadvokasi masyarakat untuk menolak itu demi lestarinya alam Sumenep,” pungkasnya. (Roni)
Comment