News Satu, Sumenep, Kamis 26 November 2020- Masjid Jamik Sumenep, Madura, Jawa Timur, memiliki gaya arsitektur yang mampu memikat para wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Masjid yang didirikan pada zaman kekuasaan Panembahan Sumolo ini, merupakan perpaduan budaya Eropa, Tiongkok, Arab dan Madura yang terlihat jelas dari bangunan gerbangnya serta interior masjid.
Perpaduan tersebut merupakan simbol dari masyarakat Sumenep yang sangat terbuka dengan budaya asing tanpa harus menghilangkan kearifan budaya lokal Sumenep sendiri.
Bahkan, yang menjadi arsitektur masjid yang masuk dalam 10 masjid tertua di Indonesia tersebut, adalah Lauw Piango, yang merupakan keturunan tiongkok. Nilai sejarah dan kemegahan arsitekturnya adalah daya tarik bagi para wisatawan untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Pembangunan Masjid Jamik dimulai tak lama setelah bangunan Keraton Sumenep selesai dibangun. Inisiatif pendirian masjid dilakukan oleh Panembahan Somala sekitar tahun 1779 dan selesai pada tahun 1787.
Berdasarkan sejarah dibangunnya Masjid Jamik ini, karena masjid yang sebelumnya dibangun atau yang lebih dikenal dengan Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M).
Tidak dapat lagi menampung Jamaah yang kian banyak. Sehingga Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jamik.
Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep tahun 2003 diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep.
Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M). Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787 M).
Pintu Masjid Jamik berebentuk gapura asal kata dari bahasa arab “Ghafura” yang artinya tempat pengampunan. Gapura ini sarat akan ornamen yang mempunyai banyak filosofi sebagai salah satu harapan dari sang Panembahan kepada rakyatnya ketika menjalankan ibadah.
Di atas gapura bisa ditemui ornamen berbentuk dua lubang tanpa penutup, keduanya diibaratkan dua mata manusia yang sedang melihat. Di atasnya juga terdapat ornamen segi lima memanjang ke atas, diibaratkan sebagai manusia yang sedang duduk dengan rapi menghadap arah kiblat.
Bangunan Utama masjid masih terjaga kelestariaanya, di mana dari sisi bangunan dan interior terawat dengan baik dan tidak ada perubahan hanya penambahan di sisi kanan, kiri dan depan masjid yang merupakan perluasan bangunan untuk menambah daya tampung jamaah masjid.
Mimbar masjid juga tidak mengalami perubahan, sehingga orisinalitasnya masih sangat terjaga bahkan terdapat sebuah pedang di atas tempat Imam yang konon berasal dari Irak. Dalam Masjid jamik juga terdapat bedung yang juga berusia cukup tua, yang digunakan pada masa lampu sebagai penanda telah tibanya waktu salat.
Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Sumenep, Drs. Bambang Irianto, M.Si mengatakan, Beberapa obyek yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya Sumenep, 3 diantaranya terletak di wilayah Kecamatan Kota, yaitu Museum Keraton, Masjid Jamik, dan Asta Tinggi.
“Masjid Jamik Sumenep, masuk dalam cagar Budaya,” katanya, Kamis (26/11/2020).
Untuk pengelolaan Masjid Jamik diserahkan kepada takmir.
“Kalau pengelolanya itu ya lembaganya sendiri, seperti Mesjid Jamik, ya takmirnya,” ujarnya.
Awalnya cagar budaya di Sumenep hanya ada 4 sejak tahun 2019. Namun pihaknya menargetkan jika tahun 2020 ini akan bertambah.
“Semuanya ada 4 cagar budaya, kemarin itu Asta Blingi masuk ketambahan satu, termasuk proses dalam jangka waktu dekat ini Kota Tua Kalianget. Bahkan sudah dilakukan penelitian, hasilnya mungkin bulan depan,” jelasnya.
Ia menambahkan, tidak ada tenggang waktu dalam proses penelitian pengembangan cagar budaya oleh TACB.
“Sebenarnya itu tergantung tim, berapa hari akan dilakukan penelitian. Target kita di 2020 ini ada 5 sampai 10 cagar budaya. Nanti kita akan jalan lagi kelapangan,” paparnya.
Berbicara cagar budaya, Ketua TACB Sumenep, Tajul Arifin, menyebutkan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan. Warisan budaya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan, oleh karena itu perlu dilestarikan keberadaannya.
“Tapi suatu benda atau obyek disebut cagar budaya harus melalui proses penetapan. Proses penetapan terhadap suatu obyek cagar budaya dilakukan oleh Pemkab setempat berdasarkan rekomendasi TACB tingkat Kabupaten,” pungkasnya. (Lim)
Comment