News Satu, Surabaya, Sabtu 18 Mei 2024- Kejadian tragis kembali mengguncang publik setelah seorang siswi SMP di Kecamatan Girimarto, Wonogiri, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
SV (15 tahun) ditemukan tewas setelah menjerat lehernya dengan selendang yang diikatkan pada jendela kamarnya. Dugaan sementara menyebutkan bahwa SV bunuh diri karena tidak kuat menahan tekanan batin akibat kehamilannya.
Peristiwa ini terungkap ketika pihak sekolah menghubungi orang tua SV, karena ia belum hadir di sekolah hingga hampir pukul 08.00 WIB. Ayah SV yang sedang merantau kemudian menghubungi seorang kerabat untuk mengecek keadaan putrinya.
Kerabat tersebut (saksi,red) mendapati pintu kamar SV terkunci dan setelah mendobraknya, ia menemukan SV sudah tidak bernyawa. Polisi yang datang ke lokasi segera melakukan pemeriksaan dan menemukan bahwa SV sedang hamil besar.
Kejadian ini menimbulkan gelombang keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk Dr. Lia Istifhama, anggota DPD RI asal Jawa Timur, yang menyoroti kasus-kasus serupa yang sering terjadi. Senator Lia Istifhama mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya kasus perempuan hamil di luar nikah, bahkan yang masih di bawah umur.
“Kasus bunuh diri ini menjadi pengingat bahwa banyak perempuan diperkosa atau dihamili tanpa tanggung jawab. Banyak di antaranya adalah anak di bawah umur,” katanya, Sabtu (18/5/2024).
Ning Lia menyinggung kasus serupa di Mojokerto, di mana seorang siswi SMP dihamili oleh guru ekstrakurikuler olahraganya.
“Siswi tersebut sudah melahirkan, namun pelaku masih bebas meski kasus ini sudah ditangani oleh Polres Mojokerto,” tambahnya.
Ning Lia menegaskan pentingnya menempatkan anak sebagai korban dan pelaku harus bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
“Masyarakat tidak boleh menyudutkan perempuan yang menjadi korban. Harus ada dukungan mental bagi mereka yang hamil di luar nikah,” ujarnya.
Keponakan Khofifah Indar Parawansa ini, juga menyinggung Undang-Undang Perlindungan Anak, menekankan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa menghindar dari jeratan hukum meski dengan alasan “suka sama suka”.
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah oleh UU Nomor 35 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak,” tegasnya.
Berikut adalah poin penting dari UU Perlindungan Anak yang disampaikan oleh Ning Lia:
- Pasal 76D UU 35/2014:** Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan.
- Pasal 76E UU 35/2014:** Setiap orang dilarang memaksa, membujuk, atau melakukan tipu muslihat untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak.
Sanksi pidana yang diatur dalam Perpu 1/2016 sangat berat, termasuk hukuman penjara hingga 20 tahun, denda hingga Rp 5 miliar, dan tindakan tambahan seperti kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual yang mengakibatkan korban meninggal atau mengalami gangguan serius.
Kasus tragis yang menimpa SV harus menjadi perhatian serius semua pihak untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan memberikan dukungan mental bagi mereka yang menjadi korban.
“Kita harus bersama-sama memastikan anak-anak terlindungi dan pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman setimpal,” tutup Senator Cantik asal Jatim ini.
Tragedi ini sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Dukungan bagi korban sangat penting untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. (Awek/*)