Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah mensinkronkan E-Katalog dan E-Procurement dengan sistem yang ada di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan HAM, serta Dukcapil. Dengan demikian, jika dalam sebuah tender terdapat 10 perusahaan, namun ternyata dimiliki oleh satu orang, hal ini dapat terdeteksi melalui sistem Ditjen AHU.
“Ini modus memenangkan tender dengan perusahaan pendamping fiktif. Dimana yang benar cuma 1 dan 9 nya fiktif atau pemiliknya dia juga,” tandasnya.
Sementara itu, apabila perusahaan-perusahaan yang digunakan untuk mengakali proses tender menggunakan nama keluarga, seperti anak atau istri, maka bisa ketahuan oleh sistem Dukcapil.
“Upaya ini diharapkan bisa menekan kasus-kasus korupsi yang beririsan dengan PBJ,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan pembagian fee alias ongkos sebesar 5-15 persen kerap ditemukan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Menurutnya, hal itu sudah jadi semacam kelaziman. Sebenarnya, kata Alex, inspektorat jenderal (Itjen) kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah tahu kalau ada persekongkolan jahat dalam proses PBJ. Namun, Dia mengaku memaklumi, kerena mereka kerap dihadapkan pada tekanan di mana rekanan mempunyai jaringan di pusat kekuasaan. (Den)
Comment